Teruntuk
dirimu yang tak pernah pergi dari hati, waktu memang tak cukup bijak untuk
sekedar menghapus goresan pensil didalam kertas memori. Hari yang terlalui
semenjak saat kau memutuskan menarik diri seperti angin yang menerpa pohon
tinggi, membiarkan daun-daunnya jatuh ke bumi kemudian ia berlalu pergi. Bodohnya
pohon itu berharap angin itu kembali, tak peduli berapa banyak daunnya yang
gugur dan mati, yang ia tau hempasan angin itu sempat menerpanya lembut membawa
nuansa surgawi.
Kesadaranku
akan kekacauan yang kau timbulkan didalam hati tak membuat rasa percaya ini
beranjak pergi, walau hanya senyari. Logika dan hati selalu membela diri dan
membuat ada mu selalu kunanti. Bahkan diam yang menamengiku tak cukup kokoh
untuk melindungi, tetap saja diri ini mendamba untuk selalu kau jumpai, kau
cintai. Aku tak mengerti mengapa hadirmu yang bisa kuhitung dalam jari dapat
membuat sipemilik tubuh ini kehilangan kaki hingga hari ini. Jangankan untuk
sekedar melangkah untuk pergi, bangkit berdiripun kaki ini serasa mati. Jangankan
untuk sekedar melupakan nama yang kau patri, menahan nya agar tak menggema
sedetik pun tak mampu hingga rasanya ingin tuli.
Teruntuk
dirimu yang tak pernah pergi dari hati, sampai kapan hati yang berdarah-darah
ini harus kubawa pergi. Telah kuseret kaki lumpuh ini untuk berlari. Dan aku
sumbat telinga ini agar aku menjadi tuli. Namun bukan indra yang membuat
sosokmu masih terpatri, tapi hati ini tak pernah rela si pengisi pergi dan
membuatnya kosong tak berarti. Hanya saja rasanya dirimulah satu-satunya yang
tepat untuk tinggal disisi.
Sungguh
aku ingin kau membaca goresan singkat yang aku tuliskan ini, bukan untuk
menyalahkanmu dan meminta pertanggung jawaban atas hati yang kini hampir mati,
bukan pula untuk mencaci maki karena telah menyayat luka yang tak pernah bisa
terobati. Aku hanya ingin berbagi, ada hati yang masih bisa kau jumpai jika
tempat berlabuhmu dulu sudah tak menaungi. Ada tangan yang menengadah agar
dapat menepuk pundakmu saat arahmu telah hilang kendali. Tak peduli hati
berdarah, kakinya yang tak bisa beranjak pergi dan telinganya yang tuli, ia
tetap ditempat yang sama untuk menantimu kembali.
Teruntuk
dirimu yang tak pernah pergi dari hati, pada akhirnya pohon besar itu telah
kehilangan banyak daunnya yang terjatuh ke bumi. Ia bahkan tak dapat
berfotosintesis untuk sekedar mencukupi batangnya agar tetap kokoh berdiri. Namun
ia masih menanti sang angin bernuansa surgawi itu kembali. Angin yang dapat
membuatnya yang hampir mati kembali menumbuhkan kuncup-kuncup daun baru seperti
angin musim semi.