Kamu adalah sebuah pembelajaran yang sangat berharga, tanpa kamu sadari, kamu telah mengajarkanku banyak hal.
Bagaimana cara merebahkan cemas lalu kemudian bangkit dan panik, bagaimana aku ingin menghindari karena takut merasa sakit namun yang aku lakukan justru terus mengulangi walaupun pahit.
Kamu keraguan terbesar dalam hidupku. Raguku,
Kita ini apa?
Rasa ini apa?
Aku dimatamu itu apa?
Berartikah aku?
Pentingkah aku?
Pedulikah kamu denganku?
Kenapa kamu sangat peduli?
Memangnya sejauh mana aku berada di hidupmu?
Kenapa kamu suka sekali menjatuhkan lalu menerbangkan?
Kenapa kamu mau menjadi tempat berlariku yang paling nyaman?
Lelahkah kamu dengan rengekanku?
Lelahkah kamu menajamkan telinga mendengar cerita dan rajukanku?
Kenapa aku seperti diambang orang penting dan biasa saja di hidupmu? Menurut perasaanku.
Aku tak mau mendengar ucapan mereka, apa kata mereka tentang di tingkatan mana posisiku dalam hidupmu, apa celotehan mereka tentang pedulinya kamu denganku, dan semua "kata mereka". Karena yang aku hadapi bukan "mereka", tapi kamu. Aku hanya ingin mendengar kata yang keluar dari bibirmu, tentang aku, tentang kamu, dan bagaimana kita.
Bukan, bukan aku berpura-pura tolol, namun aku selalu membuang jauh sekali 'kode' dalam menanggapi perasaanku. Aku lebih suka kau jelaskan secara gamblang, kau utarakan langsung dengan bibirmu. Jika bibirmu tak bisa berujar, ketikab jarimu juga tak apa, asalkan kau tuturkan dengan jelas tanpa kiasan.
Maaf jika ternyata hanya aku yang mengada-ada tentang kita, kalau mungkin hanya aku saja yang merasa kau bingungkan padahal kamu tak pernah ingin aku menghiraukan.
Dan lagi, terimakasih telah menjadi pelajaran berharga dalam hidupku. Apapun kamu dan kita, aku beruntung, sangat beruntung pernah mengenal kamu dalam hidupku. Karena kamu manusia tersabar dalam menghadapiku setelah orangtua dan keluargaku. Karena kamu selalu mendengar rengekan dan tangisku tanpa tatapan jengah, selalu membantu aku selama kamu mampu walaupun disela semua kesibukanmu, dan untuk semua yang pernah kamu lakukan untukku.
Sekali lagi terimakasih untuk semuanya, apapun kamu, apapun kita, aku tetap menyayangimu. Aku pun tak tau 'ini' menyayangimu dalam batasan yang mana, dalam batasan apa, karena aku sendiri pun bingung, tapi yang terpenting, aku menyayangimu, terimakasih sudah pernah dan mungkin masih 'akan' melengkapi beberapa bagian hidupku yang masih janggal.
Terimakasih, untukmu,
:)
Ta's Escape
I can share you the world and share you my feel
Minggu, 21 Agustus 2016
Rabu, 11 Mei 2016
Apa? Siapa?
Aku siapa? Kamu siapa? Kita ini apa?
Entah, aku sama sekali tak berfikir apa sebenarnya kita. Taka ada sedikitpun niatan untuk bertanya kepadamu, aku ini apa menurut sudut pandangmu.
Awalnya tak penting bagiku.
Apa pentingnya mengetahui kita ini sebenarnya apa dan apa aku di dalam hidupmu.
Namun sekarang ini rasanya semakin menyakitkan.
Aku tak bisa menuntut apa apa darimu karena aku memang bukan apa apa.
Dan ketika aku berpikir aku bukan apa apa, kau menyiratkan bahwa aku juga memiliki singgahsana walaupun tak diketahui besarnya.
Aku tak mau bertanya.
Tapi aku ingin tau semuanya.
Harus bagaimana?
Dulu dalam hati ini hanya larva, tapi sepertinya sudah menjadi kupu kupu yang terus menerus terbang melonjak lonjak didalam dada, sesak, sakit, sedih, bingung, aku hanya ingin mati rasa.
Aku jelaskan, aku pun tak tau kamu itu apa.
Sudah coba ku reka semua kemungkinan yang membuatku yakin apa dan siapa dirimu didalam dada, namun yang kutemukan hanya tanda tanya.
Aku hanya tau aku bisa jadi apa adanya, aku ingin disetiap tangis atau tawa kau selalu terselip disana, menyeka air mata dan tertawa bersama.
Awalnya aku pikir tak apa jika kau menemukan orang lain untuk duduk di puncak singgahsana, namun mengapa sekarang terasa menyiksa?
Egois memang, namun kupu kupu di dalam dada ini hanya ingin aku yang mempunyai singgahsana dan terus menerus bertahta.
Jika kau baca dan menemukan bahwa yang aku tuju dalam tulisan ini adalah kamu, tolong, jangan hakimi apa yang kupaparkan dalam cerita, jika memang kau merasa aku sama sekali tak memiliki singgahsana disana janganlah kamu lempar aku ke bangsal pengasingan, namun, jika memang ternyata benar aku yang sedang bertahta walau tak begitu berkuasa,,,,,,
Tolonglah,,,,,,
Beritahu aku......
Aku tak mampu untuk bertanya.
Aku pun tak sebegitu hinanya untuk mengiba.
Sebelum kupu kupu di dalam dada kembali menjadi larva.
Entah, aku sama sekali tak berfikir apa sebenarnya kita. Taka ada sedikitpun niatan untuk bertanya kepadamu, aku ini apa menurut sudut pandangmu.
Awalnya tak penting bagiku.
Apa pentingnya mengetahui kita ini sebenarnya apa dan apa aku di dalam hidupmu.
Namun sekarang ini rasanya semakin menyakitkan.
Aku tak bisa menuntut apa apa darimu karena aku memang bukan apa apa.
Dan ketika aku berpikir aku bukan apa apa, kau menyiratkan bahwa aku juga memiliki singgahsana walaupun tak diketahui besarnya.
Aku tak mau bertanya.
Tapi aku ingin tau semuanya.
Harus bagaimana?
Dulu dalam hati ini hanya larva, tapi sepertinya sudah menjadi kupu kupu yang terus menerus terbang melonjak lonjak didalam dada, sesak, sakit, sedih, bingung, aku hanya ingin mati rasa.
Aku jelaskan, aku pun tak tau kamu itu apa.
Sudah coba ku reka semua kemungkinan yang membuatku yakin apa dan siapa dirimu didalam dada, namun yang kutemukan hanya tanda tanya.
Aku hanya tau aku bisa jadi apa adanya, aku ingin disetiap tangis atau tawa kau selalu terselip disana, menyeka air mata dan tertawa bersama.
Awalnya aku pikir tak apa jika kau menemukan orang lain untuk duduk di puncak singgahsana, namun mengapa sekarang terasa menyiksa?
Egois memang, namun kupu kupu di dalam dada ini hanya ingin aku yang mempunyai singgahsana dan terus menerus bertahta.
Jika kau baca dan menemukan bahwa yang aku tuju dalam tulisan ini adalah kamu, tolong, jangan hakimi apa yang kupaparkan dalam cerita, jika memang kau merasa aku sama sekali tak memiliki singgahsana disana janganlah kamu lempar aku ke bangsal pengasingan, namun, jika memang ternyata benar aku yang sedang bertahta walau tak begitu berkuasa,,,,,,
Tolonglah,,,,,,
Beritahu aku......
Aku tak mampu untuk bertanya.
Aku pun tak sebegitu hinanya untuk mengiba.
Sebelum kupu kupu di dalam dada kembali menjadi larva.
Jumat, 09 Oktober 2015
Lelaki Dibalik Tembok
Wahai lelaki yang kini berdiri
dibalik tembok, apa kabarmu disana? Jangankan untuk berbicara merangkai cerita,
sekedar bertegur sapa pun kita tidak. Mungkin tembok itu sudah terlalu tebal
dan membentengi kita. Walaupun mungkin sedikit memaksa, aku ingin kembali
bertanya, bagaimana kabar hubunganmu dengannya? Tidak, aku tidak akan mengusik
jika kau masih bersama dia, aku hanya ingin mendengar bahwa kau kini jauh
bahagia dan dia bisa membawamu ke tempat yang seharusnya, seperti dulu yang
pernah kucoba.
Jika tuhan berbaik hati
mengijinkan kita untuk berbicara, aku hanya ingin meminta maaf atas semua cela.
Tidak, aku tidak akan memaksamu untuk menebus segala dosa, hanya saja aku ingin
bertanya, apa yang sebenarnya terjadi sebelum kita benar-benar tak saling sapa?
Mungkin tak akan ada habisnya
jika ku uraikan semua rasa sakit di dada, maka biarkanlah semua terlewat begitu
saja. Disela sesak yang hingga kini masih terasa, ijinkanlah aku meminta maaf.
Aku mungkin terlalu egois, merasa
sebagai orang yang paling menderita sehingga hati kecil ini berharap kau
sungguh-sungguh berusaha menebus dosa. Aku berharap kau menyapa tetapi tanpa
sadar aku membentengi diri dengan tembok baja. Saat kau berusaha menembus
tembok itu, tanpa sadar dengan angkuhnya aku membangun lagi tembok yang
berusaha kau susupkan. Dan mungkin dengan egoisnya, aku masih tetap berharap
kau berusaha untuk menembusnya.
Maaf dariku untuk semua usaha
yang kini telah menjadi sia-sia, maaf karena luka dihati ini membuat segala apa
yang kau lakukan seakan tak ada artinya, tak ada yang bisa kulakukan selain
meminta maaf.
Dan sekali lagi, aku ingin
meminta maaf karena aku tak akan mampu menyampaikannya, apalagi jika harus
bertatap muka. Sungguh, aku sama sekali tak memiliki daya apa lag untuk
merangkai kata.
Hanya saja, maukah kau sekali
lagi mencoba menembus dinding baja yang telah ku tata? Aku berjanji, aku tak
akan memperkokoh lagi pondasinya, aku akan membantu melepaskan satu persatu
baja demi baja.
Senin, 08 Juni 2015
Teruntuk dirimu yang tak pernah pergi dari hati
Teruntuk
dirimu yang tak pernah pergi dari hati, waktu memang tak cukup bijak untuk
sekedar menghapus goresan pensil didalam kertas memori. Hari yang terlalui
semenjak saat kau memutuskan menarik diri seperti angin yang menerpa pohon
tinggi, membiarkan daun-daunnya jatuh ke bumi kemudian ia berlalu pergi. Bodohnya
pohon itu berharap angin itu kembali, tak peduli berapa banyak daunnya yang
gugur dan mati, yang ia tau hempasan angin itu sempat menerpanya lembut membawa
nuansa surgawi.
Kesadaranku
akan kekacauan yang kau timbulkan didalam hati tak membuat rasa percaya ini
beranjak pergi, walau hanya senyari. Logika dan hati selalu membela diri dan
membuat ada mu selalu kunanti. Bahkan diam yang menamengiku tak cukup kokoh
untuk melindungi, tetap saja diri ini mendamba untuk selalu kau jumpai, kau
cintai. Aku tak mengerti mengapa hadirmu yang bisa kuhitung dalam jari dapat
membuat sipemilik tubuh ini kehilangan kaki hingga hari ini. Jangankan untuk
sekedar melangkah untuk pergi, bangkit berdiripun kaki ini serasa mati. Jangankan
untuk sekedar melupakan nama yang kau patri, menahan nya agar tak menggema
sedetik pun tak mampu hingga rasanya ingin tuli.
Teruntuk
dirimu yang tak pernah pergi dari hati, sampai kapan hati yang berdarah-darah
ini harus kubawa pergi. Telah kuseret kaki lumpuh ini untuk berlari. Dan aku
sumbat telinga ini agar aku menjadi tuli. Namun bukan indra yang membuat
sosokmu masih terpatri, tapi hati ini tak pernah rela si pengisi pergi dan
membuatnya kosong tak berarti. Hanya saja rasanya dirimulah satu-satunya yang
tepat untuk tinggal disisi.
Sungguh
aku ingin kau membaca goresan singkat yang aku tuliskan ini, bukan untuk
menyalahkanmu dan meminta pertanggung jawaban atas hati yang kini hampir mati,
bukan pula untuk mencaci maki karena telah menyayat luka yang tak pernah bisa
terobati. Aku hanya ingin berbagi, ada hati yang masih bisa kau jumpai jika
tempat berlabuhmu dulu sudah tak menaungi. Ada tangan yang menengadah agar
dapat menepuk pundakmu saat arahmu telah hilang kendali. Tak peduli hati
berdarah, kakinya yang tak bisa beranjak pergi dan telinganya yang tuli, ia
tetap ditempat yang sama untuk menantimu kembali.
Teruntuk
dirimu yang tak pernah pergi dari hati, pada akhirnya pohon besar itu telah
kehilangan banyak daunnya yang terjatuh ke bumi. Ia bahkan tak dapat
berfotosintesis untuk sekedar mencukupi batangnya agar tetap kokoh berdiri. Namun
ia masih menanti sang angin bernuansa surgawi itu kembali. Angin yang dapat
membuatnya yang hampir mati kembali menumbuhkan kuncup-kuncup daun baru seperti
angin musim semi.
Kamis, 30 April 2015
Kutukan Untuk Birlonia (Sebuah dongeng karya pribadi)
Pada
suatu hari, hiduplah seorang Raja bernama Anares dan Ratu Dhiteris yang
memimpin suatu negeri bernama Birlonia. Kerajaan itu teramat kaya raya dan
rakyatnya hidup makmur sentosa dikarenakan sang raja yang memimpin dengan arif
dan bijaksana. Namun kebahagiaan raja belumlah lengkap karena ia belum
mempunyai seorang anak. Sang raja telah melakukan berbagai cara namun sang ratu
belum juga hamil hingga akhirnya suatu malam sang raja bermimpi.
Dalam
mimpinya, Anares tengah berburu kedalam hutan menjalankan hobinya namun
tiba-tiba ia melihat seorang peri hutan kecil yang terpenjara di semak
dedurian, seluruh tubuhnya terluka. Mungkin ini ulah pemburu jahil dan tidak
bertanggung jawab.
Setelah
melihat Anares, peri hutan itu menatap Anares dengan wajah yang begitu sendu
dan mata yang memohon. Ia memohon agar Anares membantunya melepaskan diri dari
semak berduri itu.
“Wahai
raja baik hati, tolonglah aku keluar dari sini. Maka aku berjanji kamu akan
segera mendapatkan apa yang kau ingini”.
Raja
terbangun sesaat setelah ucapan peri hutan itu. Waktu masih dini hari namun
Anares tak bisa tidur kembali. Anares tampak gelisah dan tak tenang dan ini
membuat Dhiteris ikut terjaga.
“Apa
yang tengah kau pikirkan?” Tanya sang ratu.
“Aku
bermimpi, dan aku bingung apakah ini pertanda baik ataukah buruk”
“Ceritakanlah
padaku suamiku, mungkin itu dapat melegakan hatimu”
Sang
raja akhirnya menceritakan semua mimpinya kepada ratu. Pada akhirnya raja
memutuskan untuk pergi ke hutan keesokan paginya untuk melihat apakah mimpinya
itu sebuah pertanda ataukah hanya bunga tidur saja, Dhiteris pun menyetujui
keinginan raja.
Keesokan
harinya Anares dan pasukan pengawalnya sudah siap diatas kuda tunggangan dengan
semua perlengkapan berburu. Setelah 2 hari menelusuri hutan, akhirnya Anares
sampai di hutan yang sama persis dengan yang ia impikan. Betapa terkejutnya ia
setelah sampai disana, bukan peri hutan kesakitan dan terkurung yang ia dapati
namun seluruh pepohonan dan danau disana ada dalam keadaan yang mengerikan
karena diracuni seseorang.
Anares
murka, ia bersumpah akan menghukum seberat-beratnya siapapun pelakunya. Anares
segera memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mencari siapapun yang ada dalam
hutan ini.
Ternyata
peri hutan yang terkurung dan kesakitan itu adalah lambing dari hutan ini yang
kini tengah sekarat akibat racun. Setelah 3 jam berlalu, para pengawal kembali
dengan seorang ibu tua yang tangannya diikat.
“Yang
mulia raja, wanita ini adalah pelakunya, ia tengah mempelajari ilmu sihir dan
ramuan-ramuan serta membuat hutan ini sebagai bahan uji cobanya”.
Karena
murka, Anares akhirnya memerintahkan untuk membawa wanita itu ke kerajaan dan
disana ia diberi hukuman mati. Anares juga memerintahkan seluruh tabib istana
untuk membuat ramuan penawar racun untuk hutannya.
Satu
tahun telah berlalu, hutan itu kini telah kembali seperti semula. Anares sangat
bahagia, namun Anares menjadi lebih bahagia lagi ketika Dhiteris hamil dan
mengandung anak pertamanya, mimpi itu menjadi nyata, ia telah mendapatkan apa
yang sangat diinginkannya.
Hari
yang ia nanti-nantikan pun tiba. Lahirlah kedunia seorang putri cantik dengan
rambut hitam kelam, bibir semerah darah dan mata kelabu mempesona. Putri itu
diberi nama Thenesia.
Pada
malam kelahiran sang putri, raja kembali memimpikan sang peri hutan. Dalam
mimpinya peri hutan tak lagi bersedih, ia tersenyum bahagia dan terbang dengan
sayapnya yang indah.
“Terima
kasih telah merawat hutanku wahai Raja Anares, datanglah kemari setiap putrimu
berulang tahun, aku akan selalu menjaga putrimu”.
Mulai
saat itulah raja selalu berburu kehutan setiap kali Thenesia berulang tahun.
Thenesia pun tumbuh menjadi seorang putrid yang cantik jelita, ia memilik
keberanian dan ketangguhan sepeti ayahnya dan kecerdasan seperti ibunya.
Thenesia
dipuja oleh semua pria dan para pangeran berlomba-lomba untuk meminangnya,
namun tak ada yang bisa memenangkan hatinya.
Suatu
hari di ulang tahun Thenesia yang ke-18, Raja Anares kembali pergi berburu ke
hutan. Namun tak seperti biasanya, sudah sebulan lamanya ia tak kembali juga
dan itu membuat Ratu Dhiteris dan juga Thenesia cemas.
Hingga
akhirnya Anares pun kembali ke kerajaan dan disambut gembira oleh istri dan
putrinya. Namun sifat Anares berubah sangat drastis setelah pulang dari hutan.
Ia menjadi sangat arogan, tamak dan tak berperi kemanusiaan.
Dhiteris
dan Thenesia tak tau apa penyebab perubahan yang terjadi pada Anares. Sebulan
setelahnya kerajaan menjadi kacau balau, rakyat sengsara dan kemakmuran sirna
begitu saja sementara Ratu dan Putri tak bisa berbuat apa-apa.
Hingga
puncaknya, Anares ingin menikahkan Thenesia dengan seorang raja bengis dari
negeri Pethronia bernama Hadenius. Thenesia menolak perjodohan itu, ia pun
melarikan diri dari kerajaan dan terus berlari ke arah hutan hingga akhirnya ia
sampai ditempat ayahnya biasa berburu.
Hutan
itu terlihat begitu buru, terasa seperti aura kelam dan mencekam disana, seakan
tak ada lagi kehidupan. Thenesia berkeliling di hutan itu, namun tiba-tiba ada
sebuah tangan yang membekap mulutnya dan menariknya dari belakang.
“Siapa
kau? Sebaiknya kau pergi jika tak ingin mati” terdengar suara laki-laki dari
arah belakangnya, orang yang menariknya itu.
Thenesiapun
membalikkan tubuhnya dan melihat laki-laki itu, setengah ketakutan ia berusaha
menjawab pertanyaan laki-laki itu.
“Aku
Thenesia, aku lari dari rumah dan tersesat disini”.
Ternyata
kecantikan Thenesia telah menyihir pemuda itu, rahangnya yang mengeras kini
menampakan urat wajahnya yang ternyata cukup tampan. Ia pun menyimpan kembali
belati yang tadi ia todongkan pada Thenesia.
“Berbahaya
untuk berada disini Thenesia, apakah kau tidak tahu bahwa disini tinggal
seorang penyihir jahat yang suka membuat ramuan-ramuan aneh beracun? Dan
perkenalkan, namaku Persodus” ucap pemuda itu.
“Benarkah
disini hidup penyihir jahat? Kalau begitu, tahukah kau apau yang terjadi dengan
seorang raja yang bulan lalu datang berburu kemari?” Tanya Thenesia penuh
harap.
Persodus
terdiam, ia berusaha mengingat-ingat, namun ketika ingatannya menemukan sesuatu
ia terlihat begitu terkejut. Namun sedetik kemudian ia terlihat tenang kembali.
“Memangnya
apa yang terjadi dengan Raja itu?” ucap Persodus seolah tidak tahu, namun
wajahnya terlihat aneh.
Thenesia
pun menggelengkan kepalanya, bagaimanapun juga ia baru bertemu Persodus dan belum
bisa mempercayainya. Akhirnya Thenesia pun pamit untuk pergi namun Persodus
menahannya.
“Kau
tidak tahu betapa berbahayanya hutan ini. Biarkan aku menemanimu, kau juga tak
tau harus kemana bukan?”, tawar Persodus.
Karena
tanpa sadar Thenesia telah terpikat dengan ketampanan Persodus, ia pun akhirnya
menerima tawaran itu. Setelah berhari-hari berada dalam hutan, mereka berdua
akhirnya benar-benar jatuh cinta. Thenesia pun pada akhirnya menceritakan
tentang ayahnya, sang raja yang pada saat mereka pertama kali bertemu
ditanyakan Thenesia.
Namun
sikap Persodus menjadi sedikit aneh setelah Thenesia menceritakan tentang
ayahnya. Ekspresinya yang aneh seperti ada rasa marah, namun juga rasa takut,
entahlah Thenesia tak tahu pasti apa itu. Hingga pada suatu hari ketika mereka
tengah memanggang burung hasil buruannya untuk masak, datanglah seorang wanita
tua yang tiba-tiba berdiri dihadapan mereka.
Persodus
tampak amat terkejut dan takut,ia segera berdiri dan diikuti oleh Thenesia.
“Disini
kau rupanya, aku mencarimu” ucap wanita tua itu.
“Siapa
wanita itu Persodus?” Thenesia yang ketakutan bersembunyi dibalik tubuh gagah
Persodus. Lalu kemudian persodus menengok kea rah Thenesia lalu memegang
pergelangan tangannya.
“Ibu,
aku membawakan hadiah untukmu. Putri dari Anares” ucap Persodus kepada wanita
tua itu.
Wanita
tua itu tertawa terbahak kegirangan, “Kau memang anak yang bisa ku andalkan
Persodus, ayo bawa dia kedalam goa” ajak si wanita tua.
Akhirnya
Persodus pun menarik tangan Thenesia hingga ia hampir terseret mengikuti
Persodus. Thenesia pun akhirnya mengerti dengan rentetan kejadia yang baru saja
terjadi,ternyata Persodus adalah anak dari penyihir jahat itu.
“Kamu
tega! Kamu jahat! Kamu memperalat perasaanku agar bisa menyerahkanku pada ibumu”,
Thenesia tak henti-hentinya mengumpat sambil menangis selama perjalanan
sementara Persodus diam, hanyamenatap lurus kedepan sambil terus berjalan.
Thenesia
tak menyangka bahwa pemuda yang dicintainya itu ternyata hanya berpura-pura dan
anak dari seorang penyihir jahat. Sesampainya di goa, persodus segera mengikat
Thenesia dengan sebuah tali di sudut ruangan goa yang terpisah. Setelah
mengikat Thenesia, Persodus pun pergi tanpa berkata apa-apa meninggalkan
Thenesia yang terus menangis.
2
hari sudah Thenesia dikurung dan diikat didalam goa, tak satupun makanan yang
diberikan Persodus yang ia sentuh. Ia bahkan tak tau ini malam atau pagi atau
siang karena dalam goa sama saja, hanya ada penerangan obor seadanya.
Lalu
datanglah Persodus dengan membawa sepiring makanan, namun Thenesia membuang
mukanya tak ingin melihat Persodus. Persodus diam ditempatnya, menatap Thenesia
tanpa berkata apa-apa. Tak biasanya Persodus seperti itu, biasanya ia akan
segera pergi setelah meninggalkan piring makanan itu.
“Maafkan
aku Thenesia, aku tak bermaksud menyakitimu. Aku sungguh mencintaimu, hanya
saja aku tak dapat membiarkan ibuku mengetahui itu. Ketahuilah Thenesia, ibuku
lah yang telah memberikan ramuan dengan mantra sihir jahat kepada ayahmu
sehingga ia kini telah berubah menjadi raja yang lalim” ucap Persodus setelah
sekian lama tak berbicara kepada Thenesia.
“Apa
salah ayahku? Kenapa ibumu melakukan itu?”
“Ketahuilah
Thenesia, kau lahir karena anugrah dari sang peri hutan. Dan karena ayahmu yang
menolong peri hutan itu telah membunuh seorang penyihir wanita yang tanpa
sengaja membuat percobaan pada hutan sehingga hutan ini rusak. Yang ayahmu tak
ketahui adalah penyihir itu mempunyai seorang anak perempuan, yaitu ibuku”
Thenesia
tercengan, ia teringat kembali legenda kelahirannya yang selalu diceritakan
ibunya sesaat sebelum ia tidur dulu. Jadi semua ini adalah menyangkut dendam.
“Namun
kini aku sadar Thenesia, dendam ibuku tidaklah baik karena sebenarnya nenek ku
lah yang bersalah dan memang pantas mendapatkan hukuman. Dan terlebih lagi dari
itu, aku benar-benar mencintaimu. Aku akan membantumu keluar dari sini dan
menyembuhkan ayahmu” ucap Persodus pada akhirnya.
Thenesia
pun tersenyum bahagia, akhirnya mereka berdua pun menyusun strategi untuk
melarikan diri dari si penyihir. Penyihir itu memiliki sebuah kalung yang
menjadi sumber kekuatannya, akhirnya mereka merencanakan untuk mengambil kalung
itu setelah si penyihir tertidur.
Malam
hari pun tiba, Persodus mengendap-endap masuk ke kamar ibunya sementara
Thenesia menunggu di depan pintu. Ia tahu ibunya selalu melepaskan kalung itu
ketika tertidur. Semuanya hampir berjalan dengan sempurna, namun sesaat setelah
kalung itu ia pegang, ibunya terbangun lalu terbelalak murka.
“Apa
yang kau lakukan persodus!” teriak sang penyihir.
Persodus
melangkah mundur kearah pintu takut-takut, bagaimanapun ia mencintai ibunya
itu, namun perbuatan ibunya sangatlah salah.
“Maafkan
aku bu, aku sangat mencintai Thenesia” ucap Persodus, ia akhirnya berlari
menggandeng tangan Thenesia meninggalkan goa itu. Sang penyihir berusaha
mati-matian mengejar mereka namun apa daya, tanpa kalung itu ia hanyalah
seorang wanita tua renta yang tak berdaya, Persodus dan Thenesia pun berhasil
melarikandiri.
Mereka
berdua terus berlari sementara si ibu penyihir sekuat tenaga berlari mengejar
mereka. Thenesia tampak sangat kelelahan, akhirnya mereka beristirahat sejenak.
Sementara mereka beristirahat, ternyata sang penyihir berhasil mengejarnya.
Mereka kembali berlari namun ternyata langkah si penyihir sudah kepayahan.
Persodus
menengok kearah ibunya sambil terus berlari, betapa terkejutnya ia ketika
melihat sang ibu tergelincir kedalam lumpur hisap karena kakinya sudah lunglai.
Persodus langsung berlari menghampiri ibunya, bagaimanapun penyihir itu ibu
yang ia sayangi.
Sekuat
tenaga Persodus berlari, tubuh si penyihir sudah terhisap lumpur lebih dari
setengahnya, hanya kepalanya yang tersisa menyembul dari lumpur berharap
persodus segera menolongnya. Namun persodus terlambat, ibunya sudah terhisap
habis oleh lumpur ketika ia sampai.
Ia
menangisi ibunya yang kini telah tiada, Thenesia segera menghampiri Persodus
dan menghiburnya. Mungkin inilah saatnya Persodus memulai kehidupan barunya
yang lebih baik bersama Thenesia.
Akhirnya
mereka berdua segera melanjutkan perjalanan menuju ke kerajaan, Persodus tau
cara untuk menyembuhkan sang raja adalah dengan mencelupkan kalung sakti ibunya
kedalam air, lalu air itu dibasuhkan ke wajah sang raja. Akhirnya setelah
sampai di kerajaan mereka disambut gembira oleh Dhiteris yang sudah tak tahu
lagi harus berbuat apa karena kerajaan semakin kacau.
Setelah
mendengar instruksi dari Persodus, Dhiteris pun segera mengendap masuk kedalam
kamar raja, lalu membasuhkan air yang ia bawa ke wajah raja. Sesaat kemudian,
raja tersentak terbangun, ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan akhirnya sudah
tersadar dari sihir itu.
Raja
pun kembali memimpin rakyatnya dengan baik dan membuat semua keadaan jadi lebih
baik sementara Thenesia akhirnya menikah dengan Persodus, kutukan sang penyihir
untuk Birlonia ternyata membawa cinta sejati untuk sang putri dan pada akhirnya
mereka hidup bahagia selamanya.
Langganan:
Postingan (Atom)